Senin, 12 September 2011

Peran UKM dalam Perekonomian Indonesia

SEJARAH perekonomian telah ditinjau kembali untuk mengkaji ulang peranan usaha skala kecil – menengah (UKM). Beberapa kesimpulan, setidak-tidaknya hipotesis telah ditarik mengenai hal ini. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat sebagaimana terjadi di Jepang, telah dikaitkan dengan besaran sektor usaha kecil. Kedua, dalam penciptaan lapangan kerja di Amerika Serikat sejak perang dunia II, sumbangan UKM ternyata tak bisa diabaikan. (D.L. Birch, 1979)
Krisis yang terjadi di Indonesia pada 1997 merupakan momen yang sangat menakutkan bagi perekonomian Indonesia. Krisis ini telah mengakibatkan kedudukan posisi pelaku sektor ekonomi berubah. Usaha besar satu persatu pailit karena bahan baku impor meningkat secara drastis, biaya cicilan utang meningkat sebagai akibat dari nilai tukar rupiah terhadap dolar yang menurun dan berfluktuasi. Sektor perbankan yang ikut terpuruk turut memperparah sektor industri dari sisi permodalan. Banyak perusahaan yang tidak mampu lagi meneruskan usaha karena tingkat bunga yang tinggi. Berbeda dengan UKM yang sebagian besar tetap bertahan, bahkan cendrung bertambah.
Ada beberapa alasan mengapa UKM dapat bertahan di tengah krisis moneter 1997 lalu. Pertama, sebagian besar UKM memproduksi barang konsumsi dan jasa-jasa dengan elastitas permintaan terhadap pendapatan yang rendah, maka tingkat pendapatan rata-rata masyarakat tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan barang yang dihasilkan. Sebaliknya kenaikan tingkat pendapatan juga tidak berpengaruh pada permintaan. Kedua, sebagian besar UKM tidak mendapat modal dari bank. Implikasinya keterpurukan sektor perbankan dan naiknya suku bunga, tidak banyak mempengaruhi sektor ini. Berbeda dengan sektor perbankan bermasalah, maka UKM ikut terganggu kegiatan usahanya. Sedangkan usaha berkala besar dapat bertahan. Di Indonesia, UKM mempergunakan modal sendiri dari tabungan dan aksesnya terhadap perbankan sangat rendah.
Terbukti saat krisis global yang terjadi beberapa waktu lalu, UKM hadir sebagai suatu solusi dari sistem perekonomian yang sehat. UKM merupakan salah satu sektor industri yang sedikit bahkan tidak sama sekali terkena dampak krisis global yang melanda dunia. Dengan bukti ini, jelas bahwa UKM dapat diperhitungkan dalam meningkatkan kekompetitifan pasar dan stabilisasi sistem ekonomi yang ada.
Kegiatan UKM meliputi berbagai kegiatan ekonomi, namun sebagian besar berbentuk usaha kecil yang bergerak disektor pertanian. Pada 1996, data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah UKM sebanyak 38,9 juta dengan rincian: sektor pertanian berjumlah 22,5 juta (57,9%); sektor industri pengolahan 2,7 juta (6,9%); sektor perdagangan, rumah makan dan hotel sebanyak 9,5 juta (24%); dan sisanya bergerak di bidang lain.
Jumlah UKM yang ada meningkat dengan pesat, dari sekitar 7 ribu pada tahun 1980 menjadi sekitar 40 juta pada tahun 2001. Sementara itu total volume usaha, usaha kecil dengan modal di bawah Rp. 1 miliar yang merupakan 99,85% dari total unit usaha, mampu menyerap 88,59% dari total tenaga kerja pada tahun yang sama. Demikian juga usaha skala menengah (0,14% dari total usaha) dengan nilai modal antara Rp. 1 miliar sampai Rp. 50 miliar hanya mampu menyerap 10,83% tenaga kerja. Sedangkan usaha skala besar (0,01%) dengan modal di atas Rp. 54 miliar hanya mampu menyerap 0,56% tenaga kerja. Melihat sumbangannya pada perekonomian yang semakin penting, UKMseharusnya mendapat perhatian yang semakin besar dari para pengambil kebijakan. Khususnya lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab atas perkembangan UKM.
Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia UKM selalu digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peranan penting, karena sebagian besar jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional maupun modern. Peranan usaha kecil tersebut menjadi bagian yang diutamakan dalam setiap perencanaan tahapan pembangunan yang dikelola oleh dua departemen yaitu Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta . Departemen Koperasi dan UKM. Namun, usaha pengembangan yang telah dilaksanakan masih belum memuaskan hasilnya karena pada kenyataannya kemajuan UKM sangat kecil dibandingkan dengan kemajuan yang sudah dicapai usaha besar. Pelaksanaan kebijaksanaan UKM oleh pemerintah selama Orde Baru, sedikit saja yang dilaksanakan, lebih banyak hanya merupakan semboyan saja sehingga hasilnya sangat tidak memuaskan. Pemerintah lebih berpihak pada pengusaha besar hampir di semua sektor, antara lain perdagangan, perbankan, kehutanan, pertanian dan industri.
Dengan adanya kebijakan dan dukungan yang lebih besar seperti perijinan, teknologi, struktur, manajemen, pelatihan dan pembiayaan, UKM diharapkan dapat berkembang pesat. Perkembangan UKM diharapkan dapat bersaing sehat dengan pasar besar di tengah bebasnya pasar yang terjadi saat ini.  Selain itu, UKM dapat diharapkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, membuka kesempatan kerja, dan memakmurkan masyarakat secara keseluruhan sehingga terciptanya kekompetitifan dan stabilitas perekonomian Indonesia yang baik.
UMKM

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, oleh karena selain berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Dalam krisis ekonomi yang terjadi di negara kita sejak beberapa waktu yang lalu, dimana banyak usaha berskala besar yang mengalami stagnasi bahkan berhenti aktifitasnya, sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terbukti lebih tangguh dalam menghadapi krisis tersebut. Mengingat pengalaman yang telah dihadapi oleh Indonesia selama krisis, kiranya tidak berlebihan apabila pengembangan sektor swasta difokuskan pada UKM, terlebih lagi unit usaha ini seringkali terabaikan hanya karena hasil produksinya dalam skala kecil dan belum mampu bersaing dengan unit usaha lainnya.

Pengembangan UKM perlu mendapatkan perhatian yang besar baik dari pemerintah maupun masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif bersama pelaku ekonomi lainnya. Kebijakan pemerintah ke depan perlu diupayakan lebih kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UKM. Pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam memberdayakan UKM disamping mengembangkan kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil, dan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya.

Kondisi UKM di Indonesia Saat Ini

Sektor ekonomi UKM yang memiliki proporsi unit usaha terbesar berdasarkan statistik UKM tahun 2004-2005 adalah sektor (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; (2) Perdagangan, Hotel dan Restoran; (3) Industri Pengolahan; (4) Pengangkutan dan Komunikasi; serta (5) Jasa ? Jasa. Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki proporsi unit usaha terkecil secara berturut-turut adalah sektor (1) Pertambangan dan Penggalian; (2) Bangunan; (3) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; serta (4) Listrik, Gas dan Air Bersih.Secara kuantitas, UKM memang unggul, hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar usaha di Indonesia (lebih dari 99 %) berbentuk usaha skala kecil dan menengah (UKM). Namun secara jumlah omset dan aset, apabila keseluruhan omset dan aset UKM di Indonesia digabungkan, belum tentu jumlahnya dapat menyaingi satu perusahaan berskala nasional.

Data-data tersebut menunjukkan bahwa UKM berada di sebagian besar sektor usaha yang ada di Indonesia. Apabila mau dicermati lebih jauh, pengembangan sektor swasta, khususnya UKM, perlu untuk dilakukan mengingat sektor ini memiliki potensi untuk menjaga kestabilan perekonomian, peningkatan tenaga kerja, meningkatkan PDB, mengembangkan dunia usaha, dan penambahan APBN dan APBD melalui perpajakan.

Pengembangan Sektor UKM

Pengembangan terhadap sektor swasta merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi perlu untuk dilakukan. UKM memiliki peran penting dalam pengembangan usaha di Indonesia. UKM juga merupakan cikal bakal dari tumbuhnya usaha besar. “Hampir semua usaha besar berawal dari UKM. Usaha kecil menengah (UKM) harus terus ditingkatkan (up grade) dan aktif agar dapat maju dan bersaing dengan perusahaan besar. Jika tidak, UKM di Indonesia yang merupakan jantung perekonomian Indonesia tidak akan bisa maju dan berkembang.

Satu hal yang perlu diingat dalam pengembangan UKM adalah bahwa langkah ini tidak semata-mata merupakan langkah yang harus diambil oleh Pemerintah dan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Pihak UKM sendiri sebagai pihak yang dikembangkan, dapat mengayunkan langkah bersama-sama dengan Pemerintah. Selain Pemerintah dan UKM, peran dari sektor Perbankan juga sangat penting terkait dengan segala hal mengenai pendanaan, terutama dari sisi pemberian pinjaman atau penetapan kebijakan perbankan. Lebih jauh lagi, terkait dengan ketersediaan dana atau modal, peran dari para investor baik itu dari dalam maupun luar negeri, tidak dapat pula kita kesampingkan.

Pemerintah pada intinya memiliki kewajiban untuk turut memecahkan tiga hal masalah klasik yang kerap kali menerpa UKM, yakni akses pasar, modal, dan teknologi yang selama ini kerap menjadi pembicaraan di seminar atau konferensi.Secara keseluruhan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengembangan terhadap unit usaha UKM, antara lain kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi, akses pembiayaan, akses pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM, ketersediaan layanan pengembangan usaha, pengembangan cluster, jaringan bisnis, dan kompetisi.

Perlu disadari, UKM berada dalam suatu lingkungan yang kompleks dan dinamis. Jadi, upaya mengembangkan UKM tidak banyak berarti bila tidak mempertimbangkan pembangunan (khususnya ekonomi) lebih luas.[11] Konsep pembangunan yang dilaksanakan akan membentuk ‘aturan main’ bagi pelaku usaha (termasuk UKM) sehingga upaya pengembangan UKM tidak hanya bisa dilaksanakan secara parsial, melainkan harus terintegrasi dengan pembangunan ekonomi nasional dan dilaksanakan secara berkesinambungan. Kebijakan ekonomi (terutama pengembangan dunia usaha) yang ditempuh selama ini belum menjadikan ikatan kuat bagi terciptanya keterkaitan antara usaha besar dan UKM.

Saat ini, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah berencana untuk menciptakan 20 juta usaha kecil menengah baru tahun 2020. Tahun 2020 adalah masa yang menjanjikan begitu banyak peluang karena di tahun tersebut akan terwujud apa yang dimimpikan para pemimpin ASEAN yang tertuang dalam Bali Concord II. Suatu komunitas ekonomi ASEAN, yang peredaran produk-produk barang dan jasanya tidak lagi dibatasi batas negara, akan terwujud. Kondisi ini membawa sisi positif sekaligus negatif bagi UKM. Menjadi positif apabila produk dan jasa UKM mampu bersaing dengan produk dan jasa dari negara-negara ASEAN lainnya, namun akan menjadi negatif apabila sebaliknya. Untuk itu, kiranya penting bila pemerintah mendesain program yang jelas dan tepat sasaran serta mencanangkan penciptaan 20 juta UKM sebagai program nasional.
 
Permasalahan yang Dihadapi UKM

Pada umumnya, permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), antara lain meliputi:

A. Faktor Internal

1. Kurangnya Permodalan dan Terbatasnya Akses Pembiayaan

Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh karena persyaratan secara administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi. Persyaratan yang menjadi hambatan terbesar bagi UKM adalah adanya ketentuan mengenai agunan karena tidak semua UKM memiliki harta yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.

Terkait dengan hal ini, UKM juga menjumpai kesulitan dalam hal akses terhadap sumber pembiayaan. Selama ini yang cukup familiar dengan mereka adalah mekanisme pembiayaan yang disediakan oleh bank dimana disyaratkan adanya agunan. Terhadap akses pembiayaan lainnya seperti investasi, sebagian besar dari mereka belum memiliki akses untuk itu. Dari sisi investasi sendiri, masih terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan apabila memang gerbang investasi hendak dibuka untuk UKM, antara lain kebijakan, jangka waktu, pajak, peraturan, perlakuan, hak atas tanah, infrastruktur, dan iklim usaha.

2. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)

Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya.

1. Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar

Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.

2. Mentalitas Pengusaha UKM

Hal penting yang seringkali pula terlupakan dalam setiap pembahasan mengenai UKM, yaitu semangat entrepreneurship para pengusaha UKM itu sendiri. Semangat yang dimaksud disini, antara lain kesediaan terus berinovasi, ulet tanpa menyerah, mau berkorban serta semangat ingin mengambil risiko.[18] Suasana pedesaan yang menjadi latar belakang dari UKM seringkali memiliki andil juga dalam membentuk kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja UKM di daerah berjalan dengan santai dan kurang aktif sehingga seringkali menjadi penyebab hilangnya kesempatan-kesempatan yang ada.

3. Kurangnya Transparansi

Kurangnya transparansi antara generasi awal pembangun UKM tersebut terhadap generasi selanjutnya. Banyak informasi dan jaringan yang disembunyikan dan tidak diberitahukan kepada pihak yang selanjutnya menjalankan usaha tersebut sehingga hal ini menimbulkan kesulitan bagi generasi penerus dalam mengembangkan usahanya.

B. Faktor Eksternal

1. Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif

Upaya pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari tahun ke tahun selalu dimonitor dan dievaluasi perkembangannya dalam hal kontribusinya terhadap penciptaan produk domestik brutto (PDB), penyerapan tenaga kerja, ekspor dan perkembangan pelaku usahanya serta keberadaan investasi usaha kecil dan menengah melalui pembentukan modal tetap brutto (investasi).[Keseluruhan indikator ekonomi makro tersebut selalu dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan pemberdayaan UKM serta menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan kebijakan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya.

Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan UKM, meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan pengusaha-pengusaha besar.

Kendala lain yang dihadapi oleh UKM adalah mendapatkan perijinan untuk menjalankan usaha mereka. Keluhan yang seringkali terdengar mengenai banyaknya prosedur yang harus diikuti dengan biaya yang tidak murah, ditambah lagi dengan jangka waktu yang lama. Hal ini sedikit banyak terkait dengan kebijakan perekonomian Pemerintah yang dinilai tidak memihak pihak kecil seperti UKM tetapi lebih mengakomodir kepentingan dari para pengusaha besar.

2. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha

Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, tak jarang UKM kesulitan dalam memperoleh tempat untuk menjalankan usahanya yang disebabkan karena mahalnya harga sewa atau tempat yang ada kurang strategis.

3. Pungutan Liar

Praktek pungutan tidak resmi atau lebih dikenal dengan pungutan liar menjadi salah satu kendala juga bagi UKM karena menambah pengeluaran yang tidak sedikit. Hal ini tidak hanya terjadi sekali namun dapat berulang kali secara periodik, misalnya setiap minggu atau setiap bulan.

4. Implikasi Otonomi Daerah

Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini akan mempunyai implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada UKM. Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan daya saing UKM. Disamping itu, semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut.

5. Implikasi Perdagangan Bebas

Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003 dan APEC Tahun 2020 berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau UKM dituntut untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000), dan isu Hak Asasi Manusia (HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak fair oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for Trade). Untuk itu, UKM perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing baik secara keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif.

6. Sifat Produk dengan Ketahanan Pendek

Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai produk-produk dan kerajinan-kerajian dengan ketahanan yang pendek. Dengan kata lain, produk-produk yang dihasilkan UKM Indonesia mudah rusak dan tidak tahan lama.

7. Terbatasnya Akses Pasar

Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional.

8. Terbatasnya Akses Informasi

Selain akses pembiayaan, UKM juga menemui kesulitan dalam hal akses terhadap informasi. Minimnya informasi yang diketahui oleh UKM, sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap kompetisi dari produk ataupun jasa dari unit usaha UKM dengan produk lain dalam hal kualitas. Efek dari hal ini adalah tidak mampunya produk dan jasa sebagai hasil dari UKM untuk menembus pasar ekspor. Namun, di sisi lain, terdapat pula produk atau jasa yang berpotensial untuk bertarung di pasar internasional karena tidak memiliki jalur ataupun akses terhadap pasar tersebut, pada akhirnya hanya beredar di pasar domestik.

Langkah yang Sudah Ditempuh

Sesungguhnya pemerintah telah banyak mengeluarkan kebijakan untuk pemberdayaan UKM, terutama lewat kredit bersubsidi dan bantuan teknis. Kredit program untuk pengembangan UKM bahkan dilakukan sejak 1974. Kredit program pertama UKM, Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), yang menyediakan kredit investasi dan modal kerja permanen, dengan masa pelunasan hingga 10 tahun, dan suku bunga bersubsidi.

Setelah deregulasi perbankan pada 1988, kredit UKM dengan bunga bersubsidi secara berangsur dihentikan, diganti dengan kredit bank komersial. Selain itu, donor internasional juga menyusun kredit program investasi bagi UKM dalam mata uang rupiah. Antara 1990 dan 2000, Bank Indonesia mendanai berbagai kredit program dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Pemilikan Rumah Sederhana/Sangat Sederhana (KPRS/SS), dan Kredit Usaha Kecil dan Mikro yang disalurkan melalui koperasi dan bank perkreditan rakyat. Selain itu, NPWP sebagai prasyarat pengajuan kredit di Perbankan juga telah dihapuskan, dimana hal ini memberikan peluang dan kesempatan yang lebih besar bagi kita untuk mengakses modal dari sisi perbankan.

Selain peran dari Pemerintah, dunia akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga penelitian, juga telah melakukan beberapa kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan UKM. Salah satu diantaranya adalah program GTZ-RED yang diadakan atas dukungan GOPA/Swisscontact yang telah berjalan sejak tahun 2003. Program ini bergerak langsung ke daerah-daerah dengan menggunakan metode enabling environment dengan fokus pada Business Climate Survey (BCS) dan Regulatory Impact Assessment (RIA) yang dilakukan oleh Technical Assisstance (TA). Tim TA ini dimotori oleh Center for Micro and Small Enterprise Dynamics (CEMSED) Universitas Satya Wacana. Tim ini telah melakukan survey, pelatihan, workshop terhadap UKM di daerah-daerah, menciptakan jaringan dengan seluruh pihak terkait UKM termasuk Pemerintah Daerah, serta membuat daftar Peraturan Daerah yang perlu untuk diperbaiki.

Langkah yang Dapat Ditempuh

Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM dan langkah-langkah yang selama ini telah ditempuh, maka kedepannya, perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut:[24]

1. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara lain dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.

2. Bantuan Permodalan
Pemerintah perlu memperluas skema kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya, baik itu melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura. Pembiayaan untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada maupun non bank. Lembaga Keuangan Mikro bank antara Lain: BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Sampai saat ini, BRI memiliki sekitar 4.000 unit yang tersebar diseluruh Indonesia. Dari kedua LKM ini sudah tercatat sebanyak 8.500 unit yang melayani UKM. Untuk itu perlu mendorong pengembangan LKM agar dapat berjalan dengan baik, karena selama ini LKM non koperasi memilki kesulitan dalam legitimasi operasionalnya.

3. Perlindungan Usaha
Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah yang bermuara kepada saling menguntungkan (win-win solution).

4. Pengembangan Kemitraan
Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antar UKM, atau antara UKM dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Selain itu, juga untuk memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan demikian, UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.

5. Pelatihan
Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi UKM baik dalam aspek kewiraswastaan, manajemen, administrasi dan pengetahuan serta keterampilannya dalam pengembangan usahanya. Selain itu, juga perlu diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan di lapangan untuk mempraktekkan teori melalui pengembangan kemitraan rintisan.

6. Membentuk Lembaga Khusus
Perlu dibangun suatu lembaga yang khusus bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya penumbuhkembangan UKM dan juga berfungsi untuk mencari solusi dalam rangka mengatasi permasalahan baik internal maupun eksternal yang dihadapi oleh UKM.

7. Memantapkan Asosiasi
Asosiasi yang telah ada perlu diperkuat, untuk meningkatkan perannya antara lain dalam pengembangan jaringan informasi usaha yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan usaha bagi anggotanya.

8. Mengembangkan Promosi
Guna lebih mempercepat proses kemitraan antara UKM dengan usaha besar diperlukan media khusus dalam upaya mempromosikan produk-produk yang dihasilkan. Disamping itu, perlu juga diadakan talk show antara asosiasi dengan mitra usahanya.

9. Mengembangkan Kerjasama yang Setara
Perlu adanya kerjasama atau koordinasi yang serasi antara pemerintah dengan dunia usaha (UKM) untuk menginventarisir berbagai isu-isu mutakhir yang terkait dengan perkembangan usaha.

10. Mengembangkan Sarana dan Prasarana
Perlu adanya pengalokasian tempat usaha bagi UKM di tempat-tempat yang strategis sehingga dapat menambah potensi berkembang bagi UKM tersebut.
OPTIMALISASI PERANAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PEMBIAYAAN PRODUKTIF BAGI SEKTOR USAHA KECIL-MENENGAH 
Perbankan dalam kehidupan suatu negara merupakan salah satu agen pembangunan (agent of development). Hal ini dikarenakan adanya fungsi utama dari perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution), yaitu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Adanya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dana bagi negara dan masyarakat guna menunjang jalannya proses pembangunan.
Sektor hukum perbankan di Indonesia mengalami perkembangan signifikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Hal ini terjadi karena di dalam kebijakan perbankan di Indonesia pasca diundangkannya undang-undang ini secara tegas mengakui eksistensi dari bank islam (islamic banking) atau yang lebih kita kenal dengan bank syariah.
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang mengenal bank syariah semata-mata hanya bank yang mendasarkan pengelolaannya berdasarkan bagi hasil, maka dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 secara tegas mengakui eksistensi bank dengan Prinsip Syariah disamping bank konvensional yang berbasis pada bunga.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (13) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, Prinsip Syariah diartikan sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

Dengan melihat pengertian prinsip syariah sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa produk perbankan syariah lebih variatif di bandingkan dengan produk pada bank konvensional. Hal mana produk pada bank syariah dirasakan dapat memenuhi kebutuhan nasabah deposan maupun nasabah debitur sesuai dengan kebutuhan nyata mereka. Khususnya dalam hal penyaluran dana kepada masyarakat, maka skim pembiayaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan nasabah.
Sementara itu sektor ekonomi di Indonesia secara faktual sebagian besar didukung oleh sektor usaha kecil dan menengah atau dikenal dengan singkatan UKM. Pada saat krisis ekonomi pun ternyata sektor ini mampu tetap bertahan, artinya sektor UKM mempunyai keunggulan dan sangat potensial untuk lebih dikembangkan lagi melalui suatu kebijakan yang tepat dan dukungan dari lembaga yang tepat. Adapun permasalahan utama yang dihadapi oleh sektor UKM adalah berupa permodalan, dimana terkadang dalam memperoleh modal dari bank mengalami kesulitan. Salah satu hal yang menyebabkan adanya hal ini adalah adanya suku bunga kredit yang tinggi dan diperlukannya jaminan kebendaan (collateral minded) yang sukar dipenuhinya.
Dengan semaraknya perkembangan sektor perbankan syariah, terutama pasca Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 maka diharapkan dapat lebih membantu perkembangan UKM ini. Melalui pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah dengan karakteristik yang berbeda dengan kredit/pinjaman (loan) dari bank konvensional, maka UKM akan dapat memenuhi kebutuhan permodalan dimaksud.
Permasalahan yang muncul kaitannya dengan hal ini adalah mengenai jenis pembiayaan apa yang cocok untuk UKM dan bagaimana sebaiknya bank syariah menyikapi kebutuhan dari UKM.
Usaha Kecil-Menengah dan Produk Pembiayaan Perbankan Syariah yang Sesuai
Dalam Pembangunan Nasional, UKM adalah bagian integral dunia usaha yang merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, potensi, dan peran yang strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang berdasarkan demokrasi ekonomi.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kelangsungan suatu kegiatan usaha perlu didukung oleh permodalan dan sumber daya manusia yang memadahi. Namun dalam praktiknya UKM seringkali kesulitan dalam mendapatkan sumber pendanaan, satu dan lain hal karena suku bunga pinjaman yang tinggi dan berdasarkan analisis kredit khususnya terkait dengan jaminan “dianggap” tidak memenuhi. 
Dengan demikian sektor perbankan syariah sebagai lembaga keuangan yang mengemban misi bisnis (tijarah), sekaligus misi sosial (tabarru) sudah seyogyanya mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan sektor UKM dimaksud. Untuk kepentingan UKM suatu bank syariah hendaknya mampu secara cermat mengetahui kebutuhan nyata yang ada pada UKM yang bersangkutan. Hal ini penting karena karakteristik produk pembiayaan yang ada pada perbankan syariah bervariasi dan masing-masing hanya menjawab pada kebutuhan tertentu. Adapun beberapa motif dan kebutuhan yang ada pada nasabah debitur yang dalam hal ini adalah UKM dan produk perbankan syariah yang sesuai dapat dikategorikan antara lain sebagai berikut:
Pertama, UKM yang membutuhkan adanya barang modal sebagai sarana dalam proses usaha. Menyikapi adanya hal ini pihak bank syariah dapat memberikan pembiayaan berdasarkan akad jual beli, khususnya pembiayaan murabahah. Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. Adapun persyaratan minimal yang harus dipenuhi dalam hal pembiayaan murabahah ini, yaitu:
  1. Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli barang.
  2. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
  3. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;
  4. Dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank;
  5. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah;
  6. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai Bank;
  7. Kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad dan tidak berubah selama periode Akad;
  8. h. Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan secara proporsional.

Selain pembiayaan murabahah, UKM yang membutuhkan adanya barang modal bisa juga diberikan pembiayaan berdasarkan akad sewa-menyewa. Pembiayaan yang didasarkan akad sewa-menyewa dalam praktik perbankan syariah dibedakan menjadi dua, yakni pembiayaan ijarah dan pembiayaan ijarah muntahia bittamlik (IMBT). Dalam pembiayaan ijarah kedudukan bank adalah sebagai pemberi sewa sehingga berhak atas uang sewa (ujrah) dan pengembalian obyek sewa-menyewa di akhir masa sewa, sedangkan UKM selaku nasabah berkedudukan sebagai pihak penyewa yang wajib membayar uang sewa dan mengembalikan obyek sewa-menyewa di akhir masa sewa. Kemudian dalam hal UKM yang bersangkutan disamping bermaksud mendapatkan manfaat atas suatu barang modal juga berkeinginan untuk memiliki barang yang bersangkutan di akhir masa sewa, maka ia dapat mengajukan permohonan pembiayaan IMBT.
Kedua, UKM dalam tahap pendirian yang membutuhkan modal kerja dan UKM yang membutuhkan tambahan modal untuk kepentingan ekspansi usaha. Menyikapi adanya hal ini pihak bank syariah dapat memberikan pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil berupa pembiayaan mudharabah atau pembiayaan musyarakah. Mudharabah diartikan sebagai penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Adapun musyarakah adalah penanaman dana dari pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing.
Persyaratan minimal yang harus dipenuhi dalam hal pembiayaan mudharabah ini, yaitu:
  1. Bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana secara penuh, dan nasabah bertindak sebagai mudharib yang mengelola dana dalam kegiatan usaha;
  2. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
  3. Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah;
  4. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
  5. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai harus dinyatakan jumlahnya;
  6. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai berdasarkan harga perolehan atau harga pasar wajar;
  7. pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
  8. Bank menanggung seluruh risiko kerugian usaha yang dibiayai kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian usaha;
  9. nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
  10. nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad;
  11. pembagian keuntungan dilakukan dengan menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing);
  12. pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha dari mudharib sesuai dengan laporan hasil usaha dari usaha mudharib;
  13. dalam hal nasabah ikut menyertakan modal dalam kegiatan usaha yang dibiayai Bank, maka berlaku ketentuan;

a) nasabah bertindak sebagai mitra usaha dan mudharib;
b) atas keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan usaha yang dibiayai tersebut, maka nasabah mengambil bagian keuntungan dari porsi modalnya, sisa keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara Bank dan nasabah;
  1. pengembalian pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad untuk pembiayaan dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha nasabah; dan
  2. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Akad karena kelalaian dan/atau kecurangan.

Sedangkan persyaratan minimal yang harus dipenuhi dalam hal pembiayaan musyarakah, yaitu sebagai berikut: 
  1. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu;
  2. nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati;
  3. Bank berdasarkan kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah untuk mengelola usaha;
  4. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
  5. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan;
  6. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah;
  7. biaya operasional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan;
  8. pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
  9. Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal masing-masing, kecuali jika terjadi kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian dari salah satu pihak;
  10. nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
  11. nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad;
  12. pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan metode bagi untung atau rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing);
  13. pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan keuangan nasabah;
  14. pengembalian pokok pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha; dan
  15. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Akad karena kelalaian dan atau kecurangan.
Ketiga, UKM yang sedang mengalami kesulitan keuangan, bahkan mungkin harus segera mendapatkan dana segar untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya (liability) kepada pihak ketiga. Bank syariah ketika menemukan UKM yang seperti ini adalah tepat ketika memberikan pembiayaan yang bersifat pinjaman tanpa bunga atau yang dikenal dengan pembiayaan qardh atau pembiayaan qardh al-hasan. Dalam Pasal 1 angka 11 PBI No. 7/46/PBI/2005, qardh diartikan sebagai pinjam-meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian pembiayaan qardh ini hanya diberikan dalam keadaan darurat (emergency), atau dapat juga diberikan bagi UKM pada awal pendiriannya, akan tetapi mempunyai reputasi yang bagus dalam arti kejujuran pengelolanya.

Adapun untuk mendapatkan pembiayaan qardh ini persyaratan minimal yang harus dipenuhi berdasarkan Pasal 18 PBI No. 7/46/PBI/2005 adalah sebagai berikut:
  1. Bank dapat memberikan pinjaman Qardh untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan;
  2. nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok pinjaman Qardh yang diterima pada waktu yang telah disepakati;
  3. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi sehubungan dengan pemberian pinjaman Qardh;
  4. nasabah dapat memberikan tambahan/sumbangan dengan sukarela kepada Bank selama tidak diperjanjikan dalam Akad;
  5. dalam hal nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati karena nasabah tidak mampu, maka Bank dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian atau menghapus buku sebagian atau seluruh pinjaman nasabah atas beban kerugian Bank;
  6. dalam hal nasabah digolongkan mampu dan tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Bank dapat menjatuhkan sanksi kewajiban pembayaran atas kelambatan pembayaran atau menjual agunan nasabah untuk menutup kewajiban pinjaman nasabah;
  7. sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat sosial dapat berasal dari modal, keuntungan yang disisihkan dan dari dana infak;
  8. sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat talangan dana komersial jangka pendek (short term financing) diperbolehkan dari Dana Pihak Ketiga yang bersifat investasi sepanjang tidak merugikan kepentingan nasabah pemilik dana.

Sabtu, 23 Oktober 2010

KEUANGAN NEGARA
Rp 160 Triliun Menganggur
Jumat, 22 Oktober 2010 | 07:21 WIB

KOMPAS/RIZA FATHONI
Agus Martowardojo

JAKARTA, KOMPAS.com — Kementerian Keuangan mencatat, dana menganggur yang tersedia setiap hari dalam lima bulan terakhir mencapai Rp 160 triliun. Dana ini seharusnya sudah diambil kementerian dan lembaga secara bertahap sejak Mei 2010, tetapi penyerapan anggaran sangat lambat.

”Dana tersedia setiap saat sejak Mei 2010 hingga sekarang Rp 160 triliun. Itu adalah dana gabungan dari SAL (sisa anggaran lebih) dan penerimaan pajak yang menunggu ada penarikan. Jadi, kita sebenarnya overliquid (jumlah uang tunai lebih banyak daripada penarikan). Kami sudah menyampaikan surat kepada semua kementerian dan lembaga agar mencairkan anggarannya lebih cepat,” kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Jakarta, Kamis (21/10/2010), seusai rapat kerja dengan Komisi XI DPR tentang Rencana Kerja Anggaran Kementerian Keuangan.

Senin, 18 Oktober 2010

EVALUASI KINERJA
Kinerja Menteri Ekonomi Belum Optimal
Senin, 18 Oktober 2010 | 11:32 WIB

KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN
Kabinet Indonesia Bersatu

JAKARTA, KOMPAS.com - Satu tahun sudah Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II bekerja. Sejumlah pihak menilai, kinerja para pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), khususnya menteri ekonomi, masih belum optimal.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (INDEF) Ahmad Erani Yustika menilai, secara umum, kinerja menteri-menteri ekonomi standar saja. Misalnya, Menteri Keuangan belum bisa mengelola potensi investasi yang dimiliki Indonesia. Tapi, "Menteri Keuangan masih harus diberi kesempatan karena baru dilantik 20 Mei 2010," ujarnya kepada
KONTAN, Ahad (17/10/2010).